Alkisah, suatu desa di Perancis sedang panen anggur. Seperti biasanya, setiap panen anggur selalu diakhiri dengan pesta warga. Pesta itu merupakan swadaya penduduk (dari, untuk dan oleh warga),dimana setiap keluarga petani harus menyumbangkan sejumlah makanan dan minuman. Dan, ada satu tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun.
Setiap keluarga bersama-sama mengisi tong kayu besar sampai penuh dengan menyumbangkan lima liter anggur terbaik mereka yang akan diminum bersama-sama nanti.
Pada malam hari, saat pesta dimulai, kepala desa yang juga petani anggur, diiringi oleh
para tetua desa membuka tong tersebut bersama-sama. Acara selanjutnya, anggur itu
dibagi-bagikan kepada semua orang yang hadir untuk diminum serentak.
Saat tanda mulai minum diberikan, semua mengangkat gelas masing-masing dan meneguk anggur perdana tersebut. Namun semua terkejut, ternyata isi gelas mereka hanya air tawar belaka.
Kepala desa juga tersentak dan teringat pada kejadian tadi siang.
Diseretnya seorang warga ke depan, ditudingnya si warga itu dan berseru, “Hei, kamu petani kikir! Tadi siang aku melihat engkau menuangkan lima liter air tawar!” Si tertuduh terdiam malu sekali.
Dia memang melakukannya, dan pesta pun bubar penuh kekecewaan.
Dalam perjalanan pulang sang kepala desa berpikir keras, “Bagaimana mungkin air tawar
yang dituangkan petani kikir itu ditambah lima liter tawarku mampu menawarkan seluruh
anggur dalam tong sebesar itu”
Ternyata semua warga juga berpikir sama seperti kepala desa. Setiap warga ternyata
hanya menyetor lima liter air tawar dan menahan anggur terbaik masing-masing di
rumahnya.
Mereka yakin bahwa dalam tong sebesar itu sedikir air tawar tidak mungkin
akan ketahuan, apalagi merusak pesta.Dalam dunia kerja sering kali kisah pesta anggur itu terjadi. Banyak yang berpikir bahwa sedikit kesalahan tidak akan memberikan perubahan yang signifikan.
Contoh yang seringkali terjadi adalah kebiasaan terlambat. Banyak yang berpikiran bahwa satu orang dating sedikit terlambat saat meeting tidak akan terlalu berpengaruh, tanpa disadari ternyata semua peserta meeting berpikiran yang sama, akhirnya waktu habis hanya untuk saling menunggu. Atau mungkin kebiasaan terlambat masuk kerja, seringkali kita tidak berpikir bahwa kita dijadikan model untuk orang lain atau keterlambatan kita akan menghambat pekerjaan orang lain.
Di dalam pekerjaan seringkali karyawan berpikir, sedikit kesalahan toh tidak apa-apa, teman-teman yang lain pasti mengerjakan dengan benar, masih ada toleransi lah..dan akibatnya ternyata semua berpikiran sama sehingga produk yang dihasilkan hanya sedikit yang memenuhi syarat..
Kadangkala saat kita melakukan tugas kita kita lakukan “yang penting jadi”, toh nanti ada orang lain yang memeriksa lagi, ternyata itu juga yang dipikirkan dibagian lain, sehingga yang terjadi adalah bukan prestasi optimal yang bisa kita hasilkan.
Jika kita ingin tempat kita bekerja ini menjadi lebih baik, ada hal penting yang harus kita lakukan. Yaitu kita harus konsisten. Yang masih terjadi saat ini adalah kecenderungan untuk berkompromi dalam bidang mutu. Dan kompromi ini terjadi mulai dari level pribadi, dimana orang merasa nyaman-nyaman saja melakukan hal –hal dibawah standar.
Oleh karena itu, mulai dari diri kita sendiri, kita harus konsisten menjaga kehormatan diri dengan merasa mau untuk melakukan segala bentuk penyimpangan ataupun kecurangan walaupun dalam skala kecil. Malu terlambat, malu asal kerja, malu tidak teliti, malu memakai fasilitas yang bukan haknya, malu membela yang salah dan sejuta rasa malu yang lainnya.
Sebaliknya, dari rasa malu ini harus dibangun kembali rasa bangga berprestasi, bangga „on time‟, bangga jujur, bangga kerja keras, bangga mandiri, asalkan bukan bangga karena berhasil mencari- cari kesalahan orang lain.
Kata Bijak Minggu ini :
Barangsiapa setia pada perkara kecil, ia setia juga perkara besar. Dan
barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga
dalam perkara-perkara besar
No comments:
Post a Comment