Monday, 18 May 2015

Berapa Gaji Anda

Hari ini, berarti sudah sangat dekat dengan tanggal yang dinanti oleh semua karyawan, yaitu tanggal GAJIAN.

Kalimat-kalimat yang kemudian sering terdengar adalah :
"Gajiku terlalu kecil, perusahaan tidak memperhatikan kesejahteraanku" katanya, padahal dia merasa telah bekerja dengan keras. Tetapi sayangnya, dia selalu mengeluh dan mengeluh, menyalahkan pimpinan yang menurut dia, tidak bisa berbuat adil dan tidak bisa menilai hasil kerjanya. Akhirnya dia bekerja dengan malas, asal-asalan dan sering tidak masuk kerja atau sering mengatur jadwal kerja seenaknya.

Di sisi yang lain, ada teman kita yang santai menanggapi jumlah gajinya, dia selalu bersyukur, berapapun gaji yang dia terima, dia tetap bekerja dengan baik, waktu yang ada dipergunakan sangat efektif, dia berkeyakinan "suatu saat Pimpinan pasti tahu, kalau kerjanya pantas dihargai lebih". Maka dia selalu bekerja dengan gigih, kadang tak meperdulikan waktu. Benar perkiraannya, bahwa gajinya dinaikkan melebihi rekan-rekannya.
Beberapa hari yang lalu saya menemukan artikel menarik dari Soemardi di www.andriewongso.com.Berikut cuplikannya untuk kita renungkan bersama.

Gaji adalah masalah yang paling sensitif, gaji adalah upah dimana kita telah bekerja untuk mendapatkannya, gaji adalah kewajiban dari perusahaan untuk memberikan setelah kita bekerja untuknya, gaji adalah penyemangat kita untuk bekerja dengan lebih baik, dan kalau boleh kita artikan gaji adalah nyawa, nafas kita dan keluarga kita. Tanpa dia, kita tidak bisa membeli makanan, pakaian dan kebutuhan lainnya. Sebegitu pentingkah arti dari gaji buat kita ?

Kalau memang begitu penting arti gaji buat kita, kita pasti berjuang untuk mendapatkannya. Perjuangan untuk mendapatkannya sangatlah beragam, ada yang bekerja dengan giat, cerdas dan selalu semangat, ada yang bekerja asal tugas selesai, ada yang bekerja dengan malas dan yang lebih parah lagi ada yang bekerja dengan malas tetapi menfitnah teman sekerjanya untuk mendapatkan nilai plus didepan Pimpinannya.
Buat kita, mana yang telah kita lakukan ?

Kadang-kadang kita telah merasa bekerja dengan giat, bekerja sudah puluhan tahun diperusahaan yang sama, tetapi gaji yang kita terima terasa kurang, kita merasa jasa kita
kurang dihargai, kita merasa bahwa perusahaan tempat kita bekerja tidak memperhatikan
kesejahteraan kita. Lalu kita, memutuskan untuk segera hengkang dari perusahaan ini. Kita boleh-boleh saja mengeluh, tetapi mari kita koreksi diri kita, mari kita bercermin agar kita tahu siapa diri kita, mari kita sedikit tengok kebelakang apa yang telah kita hasilkan untuk perusahaan, mari kita hitung hasil kerja kita, apakah hasil kerja kita melebihi dari nilai gaji yang kita terima, atau malah sebaliknya.
 
Contoh kasus :
Dalam sebulan, counter pakaian wanita telah menjual 100 pc pakaian, dengan keuntungan
kotor rata-rata 30 %, misalkan, harga pakaian wanita rata-rata Rp. 150.000,- bearti
keuntungan kotornya Rp. 4.500.000,-.
Sekarang kita lihat berapa besar biaya operasionalnya, ada biaya listrik, ada biaya telp ,
ada biaya sewa tempat , ada biaya label-plastik, ada Pajak ( dan ada juga biaya keamanan . Kemungkinan, sisa keuntungannya tinggal Rp.1.500.000,-.
Sekarang berapa jumlah pramuniaga di counter pakaian wanita ?, ada 4 orang yang gajinya di atas Rp. 500.000,- Cukupkah Rp. 1.500.000,- untuk menggaji 4 orang tersebut ?, terus berapa keuntungan perusahaan ?

Dimana gambaran kasus di atas adalah salah satu kasus kecil, dan pasti masih banyak
kasus-kasus yang lain, yang mungkin ada pada administrasi, tenaga gudang, staff dan
lainnya. Kurangnya produktivitas kita dalam bekerja, membuat perusahaan harus berfikir 2 kali untuk menggaji kita sesuai dengan tuntuan kita. 
Yang terpenting bagi kita saat ini adalah bukan berapa besar gaji kita, tetapi bagaimana
kita menyikapi dan menyiasati keadaan sekarang. Bukan berarti kita berapapun yang harus pasrah diberikan perusahaan kepada kita, tetapi kita harus berjuang. Berjuang dengan memperbaiki kinerja kita supaya perusahaan juga akan mendapatkan hasil yang optimal dari hasil kerja kita, maka semuanya akan kembali kepada kita. Jangan pernah merasa sudah bekerja mati-matian jika masih ada banyak waktu untuk kita melamun Mari kita bekerja lebih cerdas, lebih efektif, lebih banyak menebar senyum dan semangat, lebih kompak dengan rekan kerja kita, lebih banyak berpikir positif, lebih banyak memanfaatkan waktu luang kita untuk memikirkan bagaimana esok supaya lebih baik dari sekarang.

Ternyata orang paling suka membanding-bandingkan, termasuk soal gaji. Baru-baru ini
Paris School of Economic mempublikasikan hasil European Social Survey yang melibatkan19.000 orang partisipan di 24 negara Eropa.Survey itu menunjukkan bahwa orang yang suka membanding-bandingkan gajinya dengan orang lain cenderung kurang bahagia. 
Berapa banyak orang model begini? Survey itu menunjukkan bahwa 75% orang yang disurvey ternyata suka membanding-bandingkan pendapatannya dengan pendapatan orang
lain (teman atau sejawatnya). Makin besar perhatian mereka terhadap pendapatan (gaji) orang lain makin rendah tingkat kepuasan hidupnya. Tak ada perbedaan apakah mereka laki-laki atau perempuan. 
Tetapi ada yang menarik bahwa jika kebiasaan membandingkan itu dilakukan terhadap teman atau sahabat, itu lebih menyakitkan ketimbang membandingkan dengan sejawatnya (teman sepekerjaannya). Juga orang-orang dari negara-negara yang "lebih miskin" cenderung lebih banyak melakukan perbandingan-perbandingan itu dibanding mereka yang berada di negara yang lebih kaya. Selain itu orang yang "lebih miskin" dalam suatu negara cenderung lebih suka membanding-bandingkan pendapatan (gajinya) dibanding mereka yang lebih kaya. Hasil ini sebenarnya mengejutkan. Menurut dugaan kepala peneliti Paris School of Economic, Profesor Andrew Clark, semula mereka memperkirakan kebiasaan membanding- bandingkan itu akan terjadi di kalangan atas (orang kaya). Hal ini karena ada dugaan bahwa orang kaya akan membandingkan pendapatannya untuk menjaga agar ketika jatuh miskin mereka tahu berapa standar minimum yang harus dicapainya. "Ternyata dugaan itu keliru," katanya.
Profesor Cary Cooper dari lancaster University Management School mengungkapan penemuan lain. Perbandingan paling membahayakan adalah ketika seseorang membandingkan gaji (pendapatannya) dengan rekan satu almamater (satu angkatan dari satu sekolah atau universitas) karena menganggap mereka dulunya punya kesempatan yang sama. Sedangkan jika perbandingan itu dilakukan dengan teman sejawat (sepekerjaan) itu normal dan bahkan bisa memicu keinginan untuk meningkatkan pendapatan di masa depan.
"Namun lebih baik jangan membanding-bandingkan pendapatan kita dengan yang lainnya,
syukuri saja apa yang didapat dan syukuri kondisi di mana kita berada," ujarnya.
 
Kalimat bijak minggu ini :
Bukan uang yang memberikan kepastian bahagia untuk manusia. 
Rasa syukur kepada Sang Penciptalah yang pasti dapat membahagiakan manusia.

Sumber :
Personalia Kantorku

No comments:

Post a Comment